Mitos Kecantikan

      Seorang wanita tentu akan merasa senang, terhormat, dan tersanjung (kayak sinetron aja) bila orang-orang di sekelilingnya mengatakan; “wah..kamu cantik”. Pengertian umum yang konon lagi ngetren di masyarakat (berdasarkan iklan x, sinetron xx, film xxx, gossip xxxx) adalah bahwa seorang wanita disebut ‘cantik’ jika memenuhi komposisi; kulit putih mulus, rambut panjang hitam lurus, hidung mancung, tinggi semampai, bodi semlohai (note: ukuran 36-28-36), langsing, de el el. Pertanyaannya; siapa yang
membuat pengertian seperti itu?? Siapa yang mendesign kriteria-kriteria tersebut?? Tahan dulu jawaban anda. Mari kita lihat beberapa efek dari kepercayaan masyarakat terhadap pengertian dan kriteria-kriteria ‘cantik’ tersebut.
Wanita ‘cantik’ = kulit putih. Efeknya; wanita berlomba-lomba dengan segenap usaha dan upaya untuk memutihkan kulitnya. Berbotol-botol cream pemutih (mulai dari Pond’s, Nivea, Citra) mereka oleskan ke wajah dan tubuh mereka agar terlihat putih. Entah sudah berapa juta uang yang mereka habiskan, entah berapa jam waktu yang mereka sisihkan di kamar rahasia atau salon kecantikan, agar selangkah lebih putih. Tiba’e (nyatanya); saya jamin kalau ada seorang wanita dari tetangga kita yang emang pigmen hitamnya berlebih, ia tetap istiqomah tidak akan putih walau telah menghabiskan berton-ton pemutih.
Wanita yang berkulit agak gelap, gelap,dan sangat gelap akan dianggap oleh masyarakat sebagai wanita yang tidak cantik, tidak menarik. Dan wanita itu pun mengamininya; ia merasa inferior, merasa tidak cantik, merasa tidak menarik, karena warna kulitnya. Di satu sisi, wanita yang emang asli berkulit putih (saudara kita di Negara-negara dingin) atau wanita yang sukses memutihkan kulitnya (setelah menghabiskan berjuta bahkan bermilyar uang untuk kream pemutih, luluran, salon, bahkan operasi) akan dianggap cantik dan menarik. Siapa yang diuntungkan?? Pertama; wanita dengan kulit asli putih yang selalu dianggap cantik. Kedua; produsen pemutih dan koleganya yang telah berhasil merayu wanita untuk membeli produk-produknya.
Wanita ‘cantik’ = badan langsing. Efeknya; wanita berlomba-lomba mengkonsumsi produk pelangsing, menjalani bemacam terapi agar langsing, bila perlu sedot lemak agar tubunnya terlihat langsing. Padahal beberapa obat pelangsing mempunyai efek negative terhadap usus. Terapi melangsingkan tubuh mahal harganya. Sedot lemak pun juga sarat efek negative terhadap kesehatan tubuh (wong lemak di dalam tubuh kok disedot..??). Badan sakit semua gak papa, tubuh gak sehat gak papa, pokok’e yang penting langsing. Wanita yang berbadan tidak langsing akan dianggap tidak cantik, tidak menarik. Dan ia pun mengamininya; ia merasa inferior, merasa tidak cantik, merasa tidak indah. Ia pun akan berusaha dengan segenap tenaga, rela menghabiskan berjuta bahkan bermilyar uang untuk membeli pelangsing dan mengikuti terapi pelangsingan tubuh. Yang beruntung; produsen pelangsing dengan berbagai varian.
Efek yang lain yang timbul sebagai akibat dari kepercayaan masyarakat terhadap konsep ‘cantik’ yang sekarang lagi beredar adalah budaya ‘jasadisme’. Masyarakat memandang bahwa wanita cantik dari aspek fisik saja; wanita yang berkulit putih mulus, langsing, bodi 36-28-36. Mereka tidak peduli apakah wanita itu suka berbohong, egois, aleman, de el el. Efek terhadap remaja wanita; ia mempunyai perhatian lebih banyak untuk ngurusi fisiknya daripada kepribadiannya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga, dan uang agar terlihat ‘cantik’ seperti ‘permintaan pasar’. Ia ingin agar senantiasa terlihat menarik (Siapa yang ingin ditarik???). Di sisi lain ia kurang peduli terhadap pembangunan karakternya. Ia kurang memperhatikan bagaimana membangun kecerdasan, kejujuran, kepedulian, kesabaran, keuletan, kesantunan, kemandirian, dan jati diri.
Efek yang lebih parah, bila paham ini dianut sebagian besar bangsa Indonesia; bangsa ini (kita) akan selalu merasa inferior bila berhadapan dengan bangsa ‘berkulit putih’. Kita merasa rendah, jelek, tidak ‘cantik’. Kita senantiasa menganggap bahwa merekalah yang ‘cantik’. Merekalah yang harus ditiru, diikuti, dijadikan standar. Tentu kita tidak pernah bisa se’cantik’ mereka. Kita akan senantiasa sibuk ngurusi bagaimana agar seperti mereka. Kita lupa siapa kita. Kita kehilangan jati diri kita.
Kembali ke pertanyaan awal; siapa yang mendefinisikan ‘cantik’ seperti itu?? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? Sudahkah anda merasa ‘cantik’? Apakah anda sudah cantik?!

Tije el-mediuniy
www.pesmabaitulhikmah.blogspot.com
sumber:http://lukman-f-fpsi09.web.unair.ac.id/artikel_detail-23097-Umum-Mitos%20Kecantikan.html

0 comments:

Post a Comment